Mr. RyOuSt's Fan Box

Kanda's Fan Box

Kanda on Facebook

DANTE's Fan Box

DANTE on Facebook

Kamis, 21 Januari 2010

Memacu Semangat Berindie

z104 IndieLife #057 :: ARTIKEL-ARTIKEL PEMICU KREASI BER-INDIE

Wadah band indie pun hidup lagi…

Jogja kini telah tumbuh menjadi kiblat musik yang kuat di Indonesia, nyaris menyamai Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Beraneka aliran musik yang ada dan berkembang di kota tua ini makin menyemarakkan kekhasan seni yang hidup. Tak hanya mereka yang telah diterima label besar, gerilya musisi-musisi indie seakan juga tak pernah ada habisnya, mencoba eksis dengan kesetiaan idealisme seninya.

Demi menjaga kehidupan musisi indie itu terbentuklah Forum Band Jogja (FBJ), sebuah wadah yang fokus bagi pengembangan band-band indie Jogja. Malam kemarin, setelah kurang lebih delapan bulan mandeg, forum yang berdiri 26 Mei 2007 itu kembali menggelar acara di Ruang Cafe. “Ini acara perdana kami, setelah sempat vakum beberapa bulan kemarin, tepatnya setelah ulang tahun pertama pada 2008. Lewat acara ini kami ingin membangun silaturahmi antar-band indie di Jogja,” tutur Agusraka, koordinator FBJ.

Digiatkannya kembali FBJ ini, kata dia, agar musisi indie di Jogja tetap punya wadah dan kesempatan berekspresi. “Kami masih prihatin dengan kesempatan ruang dan waktu bagi musisi indie di Jogja. Banyak musisi dengan skill yang bagus tapi kesempatan mereka untuk tampil sedikit,” tambah alumni ISI yang juga pendiri Jogja Beatles Community itu.

Dominasi pasar yang kuat, yang telah menciptakan sistem seleksi ketat, membuat banyak band indie yang sebenarnya memiliki konsep musikalisasi baik jadi tersingkir jika tak sesuai permintaan pasar. “Masalahnya, ketika band-band indie itu tertolak, misalnya dalam suatu kompetisi pasar, ruang bagi mereka tak banyak. Lewat forum inilah kami bergabung, saling dukung untuk menguatkan band masing-masing, baik dari segi musik atau lainnya, seperti promosi, recording, dan pembuatan kontrak,” tambah Agus.

Untuk memperluas cakrawala dalam segala aspek musik, FBJ bekerja sama dengan beberapa pihak seperti pihak recording atau pihak yang paham tentang kontrak kerja dengan perusahaan rekaman. Acara malam itu diisi beberapa penampilan band indie, seperti Anonymou5ick, Safira, Fosfor, Gapai dan Kimnara. Yang terakhir disebut itu, lagu-lagunya banyak dibeli production house Jakarta untuk keperluan soundtrack sinetron. (Pribadi Wicaksono Harian Jogja)

Recording studio di Jogja menggeliat

JOGJA: Recording studio atau studio rekaman saat ini tak hanya dijumpai di Jakarta atau Bandung. Di beberapa kota, termasuk di Jogja, juga mulai bermunculan. Sebut saja Bridge, Studio Reds, Rock Star, White Horse dan banyak lagi.

Studio rekaman biasanya mempunyai spesialisasi musik tersendiri. Ada yang fokus pada dangdut, campursari, pop, atau rock. Namun studio Bridge yang berlokasi di Griya Perwita Asri, Ring Road Utara, itu tak memiliki spesialisasi.

Semua band dengan genre musik berbeda-beda bisa melakukan proses rekaman di studio itu. “Tapi grup band yang datang ke sini biasanya aliran pop atau rock alternatif ,” ujar Kenonus Hasianda, pemilik Bridge.
Perkembangan industri rekaman di Jogja, menurut Keno, sangat pesat, bisa dilihat dari banyaknya band indie baru yang merekam demo untuk lagunya. Puncak booming geliat rekaman para indie ini, kata Keno, terjadi khususnya saat digelar acara Dreamband yang digelar stasiun TV7 2004-2005 lalu.

“Waktu ada Dreamband itu kan seolah-olah ada jalur yang mendukung untuk bisa membuat band terkenal. Jadi banyak grup-grup baru yang ke sini untuk rekaman,” kenang alumni Universitas Atma Jaya jurusan Teknik Sipil itu.
Saat ini, meski tak seramai momen dreamband, semangat produksi dari indie band yang ada di Jogja masih sangat tinggi. “Kadang mereka tak rekaman langsung seluruh lagu dalam satu album, hanya satu dua lagu saja dan mematangkannya,” imbuhnya.

Hal hampir senada diungkapkan Ari Putro, operator Rock Star studio di Condong Catur. Intensitas produksi band indie pemula juga banyak mengandalkan jasa studio yang baru berdiri April 2008 lalu itu.

“Saya nggak mengira antusiasme band indie masih tinggi. Dalam sebulan ada 15-20 band mixing di sini,” tutur Ari. Pria berambut sebahu ini menganggap tingginya produktivitas band indie disebabkan kuatnya idealisme para indie di Jogja.

Meski produktivitas untuk mixing, baik demo atau produksi masih tinggi, kadang para indie kebingungan setelah produksi. “Produksi itu memang mudah, yang susah setelah itu,” kata Keno.

Baik Keno atau Ari menganggap, kebingungan setelah produksi ini disebabkan beberapa faktor. Pertama, minimnya industri label yang ada di Jogja. Kedua, rata-rata player di Jogja mahasiswa, sehingga waktu untuk pemasaran albumnya banyak terhambat.

“Keadaan yang mepet bisa menjadi seleksi alam yang menguji solid tidaknya suatu band. Kita bisa contoh itu dari Shaggy Dog, yang memulai semuanya juga dari ‘gerilya’. Hingga sekarang mereka solid luar biasa” kata Keno. (Pribadi Wicaksono)

EVOLUSI INDUSTRI MUSIK ; CD Turun, Media Digital Dilirik

YOGYA (KR) - Dewasa ini telah terjadi evolusi dalam industri musik. Ini tidak saja terjadi di Indonesia, tapi juga di dunia. Sejumlah perusahaan major label gulung tikar. Begitu pula penjualan CD (Compac Disc) dan kaset turun drastis. Masyarakat atau penikmat musik lebih suka untuk mendownload dari internet.
Hal ini dikatakan Andika Prabhangkara, Produser Mixpro dalam bincang edisi ke dua acara ‘Clas IndieComm’ (Claser Independent Community) yang digelar, Selasa (2/7) di Griya KR, Jalan P Mangkubumi Yogya. Acara yang diselenggarakan rutin setiap bulan yang membincangkan soal ‘IndieIndo’ ini hasil dari kerja bareng dari Harian Kedaulatan Rakyat bersama GM Production disponsori Clas Mild dan didukung Radio Swaragama FM, Gong Musik Studio Member, Forum Band Jogja, Ours Band dan komunitas musik Band1t.Com. Bincang-bincang yang dipandu wartawan KR Wawan Isnawan dan MC Diaz Kaslina dari Radio Swaragama FM menghadirkan tampilan menarik live performance Kartos Band (Wonosobo), Komik Band dan Oh, Nina Band!
Sekarang ini, lanjut Andika, lebih banyak perusahaan yang melakukan penjualan secara digital misalnya lewat RBT (Ring Back Tone), download MP3 dan lainnya. Bahkan, dalam era digital seperti ini, siapapun bisa dengan mudah menikmati karya musisi hanya dengan mendownload internet. (Wan/R-1/Cil)-a

Makin hebatnya perkembangan industri sekarang, maka tidak menutup kemungkinan seorang artis dari Filipina misalnya, diproduseri produser dari Amerika.
“Sekarang ini orang sudah banyak meninggalkan Kaset dan CD. Terbukti penjualan kepingan CD di Indonesia turun drastis sampai dengan 50%, ini perkembangan yang tidak terduga dari dunia musik,” kata Andika. Meski demikian, Andika mengingatkan, kondisi seperti ini tidak menciutkan nyali musisi di Indonesia, khususnya di Yogya untuk terus berkarya. Bahkan jika jeli kondisi ini justru bisa dimanfaatkan musisi indie untuk mengembangkan diri.
Dikatakan Andika, keberadaan media digital seperti internet bisa dimanfaatkan antara lain dengan mengupload karya indie di tempat yang disediakan. Dengan begitu, tanpa harus mencetak CD, band indie siap untuk mencari penggemar. Selain itu band indie juga tidak boleh melupakan peran media massa. “Selama ini sekitar 70 persen orang tahu tentang karya indie dari radio, namun juga penting peran media cetak,” kata Andika.
Andika menegaskan, peluang pasar Indie sebenarnya sangat besar sekali. Mixpro yang konsen di band indie bahwa pangsa pasar di Jateng-DIY cukup potensial. Setiap tahun jumlah mahasiswa baru di Yogya bertambah 40 ribu orang. “Yogya pasar terbesar kedua dalam industri musik setelah Jakarta,” kata Andika. [(Wan/R-1/Cil)-a/www.kr.co.id]

‘’sheila on 7” Apr 19, ‘08 4:18 AM for everyone
Bukan Bintang Semeraut

Sheila On 7 berdiri tanggal 6 Mei 1996. Dulunya group ini bernama Sheila Gank.
Kemudian terjadi perubahan nama group Sheila On 7, nama ini diambil dari kata
Sheila [ bahasa Celtic] yang mempunyai arti musikal
Grup yang berdiri pada 6 Mei 1996 ini pada awalnya adalah sekumpulan anak-anak sekolah dari beberapa SMA di Yogyakarta. Di awal berdirinya bersatulah lima anak muda, Duta (vokal) berasal dari SMA 4, Adam (bass) dari SMA 6, Eross (gitar) dari SMA Muhammadiyah I, Sakti (gitar) dari SMA De Britto, dan Anton (drum) berasal dari SMA Bopkri I. Mereka sepakat untuk membentuk sebuah band dan membawakan lagu-lagu dari kelompok Oasis, U2, Bon Jovi, Guns N’ Roses, dll. Pada waktu itu juga, mereka telah memiliki beberapa lagu-lagu orisinal karya mereka sendiri dan mereka mencoba untuk memperkenalkan dan membawakan lagu-lagu tersebut dengan penuh rasa percaya diri di berbagai pentas.
Sampai saat ini juga, mereka masih sulit untuk menyebut warna musik apa yang sebenarnya dimainkan. Tetapi satu hal yang jelas adalah bahwa mereka berkeyakinan untuk memainkan “Sheila music”, dimana ide-ide atau kreasi dalam bermusik dimunculkan secara spontan dan menampilkan lirik-lirik yang gampang dicerna serta konsep musik yang sederhana.
Pada awal berdirinya grup ini bernama “Sheila”. Tidak lama kemudian, mereka menambahkan kata “Gank”, hingga jadilah “Sheila Gank”. Namun karena masalah ‘sense’, akhirnya nama mereka berganti menjadi “Sheila on 7”, “on 7” berarti solmisasi alias 7 tangga nada (do re mi fa sol la si).
Sejak awal grup ini mencoba untuk tampil secara profesional. Dimulai dengan keterlibatan mereka dalam beberapa pentas musik, festival maupun pertunjukan komersil di DIY dan Jawa Tengah, baik di lingkup sekolah, kampus, serta panggung umum. Satu hal yang cukup meyakinkan dan membanggakan adalah keikutsertaan mereka dalam program indie label “Ajang Musikal” (Ajang Musisi Lokal) di tahun 1997 milik Radio Geronimo 105.8 FM & G-Indie Production di Yogyakarta, dimana program ini adalah program sindikasi radio yang disiarkan oleh hampir 90 radio swasta di tanah air. Ajang Musikal adalah program radio yang menyiarkan lagu-lagu karya sendiri dari band-band lokal yang belum pernah rekaman komersial.
Dalam program ini mereka mendapat respons yang sangat positif, dimana request dari para pendengar untuk lagu karya mereka sendiri yaitu ‘Kita’, menempatkan mereka selama 3 bulan berturut-turut di tangga lagu Ajang Musikal G-Indie 10 pada bulan Maret, April, dan Mei 1997.
Menunjuk pada hal tersebut, “Sheila on 7” mampu untuk merefleksikan dirinya dan menjadikannya sebagai tolak ukur untuk ke jenjang yang lebih atas lagi yakni rekaman komersial. Dengan penuh keyakinan pula, Sheila on 7 memberanikan diri untuk menawarkan demotape serta proposal ke label Sony Music Indonesia, dan akhirnya kesempatan pun datang dengan dikontraknya Sheila on 7 untuk 8 album dengan sistem royalti.
507 yang terbaik daripada So7
Di saat band-band Indonesia tumbuh bak cendawan di pagi hari, Sheila On Seven (So7) tetap teguh walaupun melalui pelbagai rintangan untuk menghasilkan album kelima mereka yang berjudul 507.”Inilah album terbaik kami,” isytihar vokalisnya Akhdiyat Duta Modjo (Duta).Duta menjelaskan bahawa album mereka begitu istimewa kerana diberi sentuhan peribadi setiap anggota So7.
Pengunduran seorang lagi ahli So7… Eross mengakui pemergian Sakti merupakan tamparan hebat untuk band yang berasal dari Yogyakarta
(Sony BMG)

“Ianya berdasarkan kemahuan peminat kami,” ujar Duta yang mengharapkan 507 mengecapi kejayaan album-album mereka yang lalu.
So7 turut dianggotai Eross Candra(pemain gitar), Adam. M Subarkah (pemain bass) dan Brian Kresno Putra (pemain drum).
Menurut Adam, lagu ‘Ingin Pulang’, misalnya, merupakan hasil nukilan pemain bass tersebut yang mengisahkan kerinduannya untuk kembali ke kampung halaman setelah sekian lama merantau demi perjuangan muzik mereka.
Sentuhan terakhir Sakti
Selain Pemenang (lagu tema Piala Dunia 2006), Mantan Kekasih, Kau Kini Ada dan Terjamah Yang Lain yang terdapat di dalam 507, album ini lebih istimewa kerana turut memuatkan lagu ciptaan terakhir pemain gitarnya Sakti Ari Seno yang berundur awal tahun ini.
Lagu yang berjudul ‘Cahaya Terang’ menceritakan tentang seorang insan yang ingin kembali ke jalan yang benar. Ianya yang begitu sinonim dengan keputusan Sakti untuk meninggalkan So7 demi mendalami ilmu keagamaan.

Sheila On 7… Bakal mengunjungi Malaysia untuk mengubat rindu para peminat mereka
(Sony BMG)

Eross mengakui pemergian Sakti merupakan tamparan hebat untuk band yang berasal dari Yogyakarta ini kerana pengundurannya berlaku pada detik-detik rakaman album studio kelima, 5O7.
“Kami sudah berbicara tiga kali bersamanya. Namun, dia masih tetap dengan pendiriannya untuk ke Pakistan,” jelas Eross.
Sakti, menurut Eross, selalu memberi ilham untuk mereka berkarya disamping selalu menjadi imam ketika ketika ahli-ahli So7 bersolat bersama-sama.
“Kami terkejut bangat,” komen Adam.
Namun, keputusan Sakti tersebut dihormati oleh sahabat-sahabat sejatinya itu dan “pintu So7 masih terbuka untuk Sakti jika dia ingin kembali bermain bersama kami,” ujar Eross .
Pemergian Sakti adalah dua tahun selepas pemain drum kumpulan itu, Anton Widiastanto, meninggalkan mereka kerana terlibat dengan projek peribadi.
Tempatnya diganti oleh Brian, bekas ahli band Tiket yang telah dibubarkan.
Kembali ke Malaysia
Sepanjang 10 tahun berkarya, ternyata hasrat mereka supaya lagu-lagu mereka menjadi siulan ramai tercapai.
Lagu-lagu seperti ‘Sephia’, ‘Dan’ serta ‘Sahabat Sejati’ bukan sahaja menjadi siulan para peminat di Indonesia malah di Malaysia, Singapura serta Brunei.
Kumpulan yang pernah dinobatkan sebagai band nombor satu di Malaysia berhajat untuk kembali ke Malaysia untuk berjumpa dengan peminat-peminat mereka.
“Kami akan ke Malaysia pada 10 Ogos,” kata Duta mengenai konsert yang bakal diadakan di beberapa buah negeri seperti Kuala Lumpur, Negeri Sembilan, Pulau Pinang dan Sabah. wisentek.multiply.com]

z104 PRODUCTION's Fan Box

z104 PRODUCTION on Facebook

ZIGZAGZEG's Fan Box

ZIGZAGZEG on Facebook

Triplezie Radioblog's Fan Box